Kamis, 03 September 2009

PERBANYAKAN TEBU (Saccharum officinarum L. ) SECARA IN VITRO PADA BERBAGAI KONSENTRASI IBA DAN BAP


PENDAHULUAN

Tanaman tebu (Saccharum officinarum. L) dimanfaatkan sebagai bahan baku utama dalam industri gula. Bagian lainnya dapat pula diman- faatkan dalam industri jamur dan sebagai hijauan pakan ternak. Pengem bangan industri gula mempunyai peranan penting bukan saja dalam rangka mendorong pertumbuhan perekonomian di daerah serta penambahan atau penghematan devisa, tetapi juga langsung terkait dengan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat dan penyediaan lapangan kerja.

Pengembangan tebu cukup beralasan dimana lebih dari setengah produksi gula dunia berasal dari tebu (Mubyarto dan Daryanti, 1994). Produktifitas tanaman tebu yang dicapai di Indonesia adalah 49,24 ton/ha (Anonim, 1996), sedang di Papua New Guinea mencapai 55 ton/ha (Hartemink and Kuniata, 1996), dan Afrika Selatan 110 ton/ha (McGlinchey and Bander, 1996).

Selama pabrik gula mengandalkan pasok bahan baku tebu rakyat, maka kepastian bahan mentah bagi pabrik gula menjadi berkurang. Kondisi ini akan mengundang para investor untuk menanam tebu di lahan sewa dalam bentuk perkebunan yang luas. Hal ini membutuhkan bibit dalam jumlah yang besar dan pertumbuhan yang seragam dalam waktu yang singkat. Untuk itu diperlukan suatu metode perbanyakan yang dapat memecahkan permasalahan bibit, salah satunya melalui metode in vitro. Metode ini dapat menghasilkan bibit dalam jumlah yang besar tanpa memerlukan jumlah induk yang banyak, waktu yang relatif singkat dan bibit yang dihasilkan bebas patogen.

Kultur in-vitro adalah suatu teknik mengisolasi bagian tanaman seperti protoplas, sel, jaringan dan organ, yang kemudian menum buhkannya dalam media buatan dengan kondisi aseptik dan terkendali (Gunawan, l988). Teknik ini pada awalnya digunakan dalam usaha perbanyakan tanaman secara cepat, namun saat ini telah berkembang menjadi sarana pendukung program perbaikan sifat tanaman (Mashudi, 1998).

Metode ini banyak digunakan untuk menciptakan variasi genetik yang disebut variasi somaklonal. Variasi genetik yang pertama dilaporkan dalam hal perbaikan sifat tanaman ditemukan pada tembakau (Bhojwani, 1990) dan tebu (Heinz and Mee, 1971). Diantara metode yang digunakan pada tebu, kultur meristem pucuk mempunyai variasi yang lebih kecil dibanding regerasi langsung dari kultur kalus (Irvine and Benda, 1987), sedang Burner and Grisham (1995) mendapatkan sebaliknya dimana kultur meristem pucuk menghasilkan lebih banyak variasi.

Kultur in-vitro pada dasarnya merupakan suatu sistem pertumbuhan sel-sel sebelum berdiferensiasi (kalus dan suspensi), sehingga mampu menghasilkan tanaman baru. Kalus dapat dihasilkan dari semua bagian tanaman seperti akar, batang dan daun, tetapi organ yang berbeda memberikan pembentukan kalus yang berbeda pula (Musa dan Munir, 2002). Kalus adalah sekumpulan sel yang aktif mengadakan pembelahan sel dan pertambahan plasma sehingga dapat membesar dan membentuk massa sel yang tidak terorganisir. Kalus merupakan pertumbuhan yang tidak normal yang berpotensi untuk membentuk akar, tunas dan embrio yang dapat membentuk tanaman (Dodds,1987).

Kemampuan kalus untuk beregenerasi sangat ditentukan oleh media yang digunakan dan komposisi zat pengatur tumbuh dalam media. Winata (1987) menyatakan bahwa dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat penting dalam kultur jaringan tanaman adalah auksin dan sitokinin. George dan Sherrington (1984), menyatakan bahwa inisiasi tunas dan akar diatur oleh interaksi auksin dan sitokinin yang diberikan ke dalam media. Demikian juga interaksi masing-masing auksin atau sitokinin eksogen dengan auksin dan sitokinin endogen yangdikandung oleh eksplan.

Auksin secara umum menyebabkan perpanjangan sel, pembesaran sel, pembentukan kalus dan
pembentukan akar (Pierek, 1987); mendorong pertumbuhan pucuk (Wattimena, 1988). Golongan sitokinin yang umum digunakan adalah BA (6-Benzyl Adenine) dan Kinetin. Golongan ini sangat penting dalam pengaturan sel dan morfologis (Winata, 1987). Sitokinin dalam budidaya jaringan terbukti dapat memacu diferensiasi tunas. Tunas dapat tumbuh dari jaringan kalus, daun, potongan batang atau kotiledon. Hasil percobaan terbukti bahwa 75 % species tanaman membentuk tunas jika menggunakan kinetin atau benzilaminopurin dengan konsentrasi antara 0,5 - 46 uM (Daisy dan Ary Wijayani, 1994).

Winata (1987) melaporkan bahwa pada perbanyakan tebu secara in vitro, zat pengatur tumbuh yang dapat ditambahkan pada media inisiasi untuk organogenesis kalus adalah auksin 1 ppm dan sitokinin 1 ppm. Peningkatan konsentrasi sitokinin akan mendorong pembentukan tunas yang kemudian akan tumbuh menjadi planlet dalam kondisi yang sesuai. Pada konsentrasi auksin dan sitokinin yang sama cenderung terjadi pertumbuhan yang tidak terdiferensiasi. Namun pada genotipe tanaman yang berbeda akan memperlihatkan arah morfogenesis yang berbeda sehingga tidak ada suatu perbandingan antara auksin dan sitokinin yang bersifat universal yang dapat digunakan sebagai dasar dalam menginduksi tunas dan akar (Hughes, 1987).

BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan adalah kalus tanaman tebu varietas PS 81362, bahan kimia yang digunakan dalam pembuatan media Murashige dan Skoog), zat pengatur tumbuh IBA dan BAP. Faktor pertama adalah Konsentrasi Auksin IBA dalam 3 taraf, yaitu : a1= 0,50 ppm, a2=0,75 ppm, a3=1,00 ppm. Faktor kedua adalah Konsentrasi BAP (B) dalam 3 taraf, yaitu : b1=0,50 ppm, b2=1,00 ppm, b3=1,50 ppm.

Semua alat yang digunakan disterilisasi dalam autoclave pada tekanan 17 - 20 psi dan dipertahankan selama 1 jam. Laminar Air Flow Cabinet disterilisasi dengan alkohol 70 % dan dilap dengan tissue. Ruang penanaman dan ruang diatur suhunya dengan suhu rata-rata 25o C. Lampu fluorescent biasa digunakan sebagai sumber cahaya dalam ruang kultur.

Larutan stok MS dibuat dengan menimbang zat-zat dengan konsentrasi sesuai Media dibuat
dengan jalan memipet larutan stok sesuai keperluan. Larutan stok yang telah dipipet dimasukkan ke dalam labu takar 1000 ml, ditambahkan air kelapa muda 10 %, kemudian disusul dengan ZPT dan gula. pH diatur hingga mencapai 5,8 - 6,0, kemudian ditambahkan agar. Media dipanaskan sambil diaduk rata hingga larutan nampak bening. Botol segera ditutup dengan aluminium foil, kemudian disterilkan dalam autoclave pada tekanan 17,5 psi selama 15 - 20 menit.

Penanaman dilakukan dengan memilih kalus tebu yang embrionik, kemudian ditempatkan pada media sesuai perlakuan masing-masing. Parameter tumbuh yang diamati adalah kecepatan bertunas (hari), jumlah tunas (buah), jumlah daun (helai) dan jumlah akar yang terbentuk pada akhir pengamatan (buah).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil percobaan yang dilakukan menunjukkan bahwa interaksi IBA dan BAP pada umumnya memberi pengaruh yang cukup baik untuk parameter kecepatan pembentukan tunas dan jumlah tunas yang terbentuk. Interaksi IBA 0,50 ppm dengan BAP 1,50 ppm memberikan hasil terbaik terhadap kecepatan membentuk tunas dan jumlah tunas. Hal ini diimungkinkan karena pada konsentrasi BAP yang tinggi dibandingkan konsentrasi IBA yang diberikan kepada media mendorong laju pembentukan tunas dan meningkatkan jumlah tunas yang terbentuk. Kusumo (1990) mengemukakan bahwa jika kadar sitokinin lebih tinggi daripada auksin, maka sel akan berdiferensiasi menjadi meristem pucuk batang. Malcolm (1992) mengemukakan bahwa naiknya ratio sitokinin terhadap auksin (baik dengan menurunkan konsentrasi auksin ataupun dengan menaikkan konsentrasi sitokinin) dapat menghasilkan tunas yang tumbuh menjadi pucuk dan akhirnya menjadi tanaman di bawah kondisi lingkungan yang tepat. Sedangkan pada interaksi IBA 0,50 ppm dan BAP 0,50 ppm, laju pembentukan tunas akan terhambat.

Hal ini menunjukkan bahwa pada konsentrasi tersebut IBA dan BAP yang ditambahkan ke dalam media belum mampu untuk merangsang pembentukan tunas. Abidin (1990) menyatakan bahwa penggunaan sitokinin pada kadar optimum dapat merangsang pembentukan tunas, sehingga pada konsentrasi BAP 0,50 ppm pembentukan tunas terjadi pada waktu yang lebih lama. Jumlah Daun dan Akar, pada IBA 0,50 menunjukkan bahwa interaksi IBA 0,50 ppm dengan BAP 1,50 ppm memberikan hasil terbaik terhadap jumlah daun dan berbeda sangat nyata dengan interaksi lainnya. Sedangkan iteraksi IBA 1,00 ppm dan BAP 1,00 ppm memberikan hasil terbaik terhadap jumlah akar dan berbeda tidak nyata dengan interaksi IBA 0,75 ppm dan BAP 1,5 ppm. Jumlah daun dan akar yang paling sedikit ditunjukkan oleh interaksi IBA 0,50 ppm dan BAP 0,50 ppm.

Jumlah daun planlet yang terbentuk paling banyak dihasilkan oleh interaksi IBA 0,50 ppm dan BAP 1,50 ppm. Hal ini disebabkan karena kecepatan bertunas lebih cepat dan jumlah tunas yang dihasilkan lebih banyak. Dengan adanya pertumbuhan tunas awal yang baik, maka akan merangsang pertumbuhan vegetatif yang baik untuk pertumbuhan selanjutnya. Jumlah tunas yang banyak akan menghasilkan jumlah daun yang banyak pula. Selain itu dengan adanya sitokinin dalam jaringan tanaman, maka akan memacu pembelahan sel dan menghilangkan dormansi yang diikuti oleh pertumbuhan tunas dan batang (Prawinata, Harran, Tjondronegoro, 1981). Bila laju pembelahan sel dan pembentukan jaringan berjalan cepat, maka akan mempercepat pertumbuhan batang dan daun (Sri Setyati, 1979).

Hasil terbaik untuk parameter jumlah akar diberikan oleh interaksi IBA 1,00 ppm dan BAP 1,00 ppm. Walaupun perimbangan IBA dan BAP sama, namun adanya auksin endogen dalam tubuh tanaman dan penambahan auksin eksogen (IBA), akan meningkatkan konsentrasi auksin yang akan merangsang pembentukan akar. Seperti yang dinyatakan oleh George dan Sherrington (1984) bahwa inisiasi tunas dan akar ditentukan oleh konsentrasi auksin dan sitokinin yang diberikan ke dalam media dan interaksinya dengan auksin atau sitokinin endogen yang dikandung oleh eksplan.

Peningkatan jumlah tunas dan jumlah daun berarti meningkatkan daerah produksi auksin terutama pada ujung tunas. Auksin yang diproduksi pada tunas meristem akan ditranslokasi secara basepetal ke bawah untuk mendorong pembentukan akar yang lebih banyak. Demikian pula sebaliknya, akar merupakan daerah produksi sitokinin yang terbanyak dan akan ditranslokasi ke tunas untuk mendorong jumlah tunas dan daun yang lebih banyak.

KESIMPULAN

¾ Interaksi IBA 0,50 ppm dan BAP 1,50 ppm adalah interaksi yang terbaik terhadap kecepatan pembentukan tunas, jumlah tunas dan jumlah daun yang terbentuk pada akhir kultur. ¾ Interaksi IBA dengan konsentrasi 1,00 ppm dan BAP dengan konsentrasi 1,00 ppm adalah interaksi yang terbaik terhadap jumlah akar yang terbentuk pada akhir kultur. ¾ Perbanyakan massal tanaman tebu dapat dilakukan secara in-vitro pada konsentrasi IBA 0,5 ppm dan BAP 1,5 ppm.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 1990. Dasar-dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Angkasa. Bandung.

Anonim, 1996. Tebu Varietas Unggul, Pemandu Swasembada Gula. Neraca, Edisi Maret, Jakarta, Indonesia

Bhojwani, S.S. 1990. Plant Tissue Culture. Application and Limitations: Development in Crop Science. Elsevier Science Pub. Co. Inc. New York, USA.

Burner, D.M. and Grisham, M.P. 1995. Induction and Stability of Phenotypic in Sugarcane as
Affected by Propagation Culture. Crop Sci. 35:875-880.

Daisy P. S. dan Ary Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan, Pengendalian dan Petunjuk
Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif Modern. Kanisius. Jakarta.

Doods, B. V. 1987. Clonning Agriculture Plants Via In Vitro Techniques. CRC. Press Inc. Boca Raton. Florida.

George, E. F., and P. D. Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Exegetic Limited. London.

Gunawan, L.W., l988. Teknik Kultur Jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. PAU
Bioteknologi IPB, Bogor :303 p.

PENDAHULUAN
Abaca (Musa textillis Nee) adalah tumbuhan yang termasuk dalam famili Musaceae yang berasal dari Filipina yang telah dikenal dan telah dikembangkan sejak tahun 1519 (Wibowo, 1998). Masyarakat di kepulauan Sangihe Sulawesi Utara, sangat akrab dengan tanaman ini. Banyak orang percaya Abaca berasal dari daerah tersebut bukan dari Filipina (Raharjo, 1999). Sebelumnya Heyne (1987) dalam Priyono (2000) melaporkan bahwa terdapat beberapa nama daerah tanaman Abaca yaitu pisang Manila (Menado), Cau Manila (Sunda), Kofo sangi (Minahasa) dan Manila Henep.

Abaca adalah salah satu penghasil serat yang dapat digunakan untuk pembuatan kerajinan rakyat seperti bahan pakaian, anyaman topi, tas, peralatan makan, kertas rokok, sachet teh celup (Wibowo,1998). Selain itu juga untuk jenis kertas yang memerlukan kekuatan dan daya simpan yang tinggi seperti kertas surat, kertas dokumen serta kertas peta (Triyanto, Muliah dan Edi, 1982). Menurut Demsey (1963) dalam Priyono (2000), tanaman Abaca penghasil serat panjang yang banyak digunakan sebagai bahan pembuat tali kapal laut, karena seratnya kuat, mengapung diatas air, dan tahan air garam. Sedangkan Sanusiputra (1996) dalam Wibowo (1998) melaporkan bahwa limbahnya dapat dipergunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan kompos bahan baku untuk langit-langit pintu dan lain-lain.

Saat ini teknik perbanyakan tanaman melalui kultur in vitro telah banyak diterapkan pada tanaman pangan industri salah satunya pada tanaman pisang (Musa paradisiaca L.) karena Abaca secara morfologi tidak jauh berbeda dengan pisang lainnya, maka teknik kultur in vitro dimungkinkan dapat menghasilkan bibit-bibit Abaca yang seragam dan berproduksi tinggi. Para petani penanam pisang Abaca sangat menyukai bibit pisang hasil kultur jaringan karena bila dibandingkan dengan bibit asal biji atau anakan biasa, bibit pisang hasil kultur jaringan pertumbuhannya lebih pesat, seragam, dapat disediakan dalam jumlah banyak dengan waktu yang singkat, dan bebas patogen berbahaya.

BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: Anakan pisang Abaca, agar sebagai pemadat, sukrosa, NAA, Kinetin, BAP, desinfektan (Sunclin, Dithane, Alkohol 70 % dan 95 %, Betadine dan Aquadest steril), dan bahan lain yang mendukung penelitian ini. Media dasar yang digunakan adalah media MS (Murashige and Skoog) ditambah dengan beberapa rasio konsentrasi BAP, NAA dan Kinetin.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan gelas (botol kultur, gelas ukur, beaker glass, erlenmeyer, dan petridish), timbangan analitik, pH meter, autoclave, Laminar Air Flow (LAF), peralatan diseksi (pinset, gunting dan skalpel), stirer, lampu spiritus, rak kultur dengan lampu 40 watt dan alat lain yang mendukung penelitian ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Seluruh konsentrasi BAP dan Kinetin yang diperlakukan terhadap eksplan mampu memicu induksi tunas adventif dari eksplan yang dikulturkan. Eksplan berupa tunas steril Abaka menunjukkan respon perubahan setelah diinkubasi pada media kultur in vitro. Pada permulaannya, pangkal eksplan tampak membesar dan warna hijau menjadi lebih kuat. Tunas tercepat muncul pada 8.2 hari setelah kultur. Berdasarkan data penelitian, konsentrasi BAP 6 ppm cenderung memberi pengaruh lebih baik pada tahap induksi tunas. Pertumbuhan tunas mikro abaka pada berbagai perlakuan konsentrasi BAP ditunjukan pada Gambar 2. Sedangkan Kinetin 7 ppm memberikan hasil jumlah tunas terbanyak.


Pada tahap pengakaran tunas abaka, eksplan yang dipergunakan adalah tunas mikro dengan jumlah daun 3 dan tinggi ± 3 cm yang berasal dari tahap induksi tunas. Semua perlakuan yang diberikan mampu memicu pertumbuhan akar dan seluruh eksplan yang dikulturkan pada tahap ini mampu membentuk akar. Akar pertama tumbuh pada hari ke-3 setelah kultur. Rata-rata akar terbentuk pada hari ke-11 setelah kultur. Eksplan yang dikultur pada media tanpa penambahan NAA paling mudah membentuk akar. Pada kondisi ini akar yang dihasilkan paling panjang tetapi jumlah akar lebih sedikit. Perlakuan NAA 1 ppm menghasilkan jumlah akar lebih banyak tetapi panjang akar lebih pendek dibandingkan dengan perlakuan 0 ppm. Berdasarkan hasil penelitian, perlakuan yang cenderung memberi hasil lebih baik pada tahap pengakaran tunas abaka adalah pengkulturan pada media tanpa penambahan NAA.

Tunas mikro yang dikulturkan pada media yang diperkaya dengan NAA juga membentuk akar liar. Akar ini tumbuh menyebar pada batang tunas mikro. Semakin tinggi konsentrasi NAA, jumlah akar liar yang terbentuk semakin banyak karena auksin memacu perkembangan akar liar (Salisbury dan Ross, 1995).

Peningkatan konsentrasi NAA di atas 1 ppm secara nyata menghambat pertumbuhan akar. Akar terbentuk lebih lama dengan jumlah cenderung berkurang dan lebih pendek. Hal ini disebabkan konsentrai auksin yang tinggi menghambat pertumbuhan akar (Priyono, 2001). NAA 1 ppm menghasilkan akar dalam jumlah lebih banyak tetapi panjang akar lebih pendek dibandingkan pada perlakuan tanpa pemberian NAA. Menurut Delvin (1975) dalam Abidin (1985) pemberian konsentrasi auksin yang relatif tinggi menyebabkan terhambatnya perpanjangan akar tetapi meningkatkan jumlah akar.

Dari 4 taraf konsentrasi auksin yang digunakan, konsentrasi 1 ppm menunjukkan hasil terbaik dibandingkan perlakuan yang lain. Namun diduga terdapat konsentrasi NAA optimum dalam rentang 0–1 ppm untuk pertumbuhan akar abaka. Auksin endogen sudah mampu memicu pertumbuhan akar abaka namun perlu ditambahkan auksin eksogen dalam jumlah tertentu dalam rentang 0–1 ppm untuk memperbaiki respon pertumbuhan akar abaka. Priyono (1993) melaporkan, dari 3 taraf perlakuan NAA 0,1; 0,3; dan 0,5 ppm yang diaplikasikan pada media perakaran, konsentrasi 0,3 mg/l NAA menunjukkan hasil terbaik terhadap pertumbuhan akar Musa paradisiaca. Pada Musa textilis, NAA 0,5 dan 1 ppm memberi respon yang sama terhadap pertumbuhan akar (Priyono, 2000).

Berdasarkan data-data yang ada, diduga konsentrasi optimum NAA untuk pertumbuhan akar abaka terdapat antara rentang 0–1 ppm. Auksin dalam konsentrasi yang tepat sangat berperan aktif dalam proses diferensiasi sel, namun pada taraf yang melebihi konsentrasi optimum dapat bersifat racun (Wareing dan Phillips, 1970 dalam Priyono, 1993).

KESIMPULAN

1. BAP 6 ppm memberi pengaruh paling baik terhadap parameter jumlah tunas (9 tunas) dan tinggi tunas (2,62 cm).
2. Kinetin 7 ppm memberi pengaruh paling baik terhadap parameter jumlah tunas (9 tunas) dan tinggi tunas (2,76 cm).
3. Pada tahap pengakaran tunas mikro, perlakuan NAA 1 ppm memberi pengaruh paling baik terhadap parameter jumlah akar (6,67 akar per eksplan)
4. Perlakuan terbaik sebagai bagian metode regenerasi dari penelitian ini adalah induksi tunas menggunakan BAP 6 ppm atau Kinetin 7 ppm dan pengakaran tunas mikro abaka dengan penambahan 1 ppm NAA.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 1985. Dasar-dasar Pengetahuan tentang Zat Pengatur Tumbuh, Angkasa, Bandung.

Ariyanti, I.W. 1997. Pengaruh Perimbangan Konsentrasi NAA & Kinetin Terhadap Pertumbuhan Tiga Varietas Anggrek Pada Media Greener 2001 B Melalui Teknik Kultur Jaringan. Fakultas Pertanian Universitas Jember. Jember.

Atmawatiningsih, S. 1993. Pengaruh NAA dan BAP Pada Perbanyakan Pisang Agung (Musa paradisiaca forma typica) Secara In Vitro. Fakultas Pertanian Universitas Jember. Jember.

Demsey, J.M. 1963. Long Vegetable Fiber Development in South Vietnam and Other Asian Countries 1957-1962. Overseas misson. Saigon: 157-162.

Dwidjoseputro. 1995. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia Jakarta.

Hardjono, R., S. Muljopawiro dan I. Mariska. 1989. Penggunaan Berbagai Eksplan Dalam Media Terhadap Pertumbuhan Tunas Tanaman Tembakau. Risalah Seminar Latihan Magang Penelitian Pertanian Bioteknologi III. Sukabumi.