Kamis, 03 September 2009


PENDAHULUAN
Abaca (Musa textillis Nee) adalah tumbuhan yang termasuk dalam famili Musaceae yang berasal dari Filipina yang telah dikenal dan telah dikembangkan sejak tahun 1519 (Wibowo, 1998). Masyarakat di kepulauan Sangihe Sulawesi Utara, sangat akrab dengan tanaman ini. Banyak orang percaya Abaca berasal dari daerah tersebut bukan dari Filipina (Raharjo, 1999). Sebelumnya Heyne (1987) dalam Priyono (2000) melaporkan bahwa terdapat beberapa nama daerah tanaman Abaca yaitu pisang Manila (Menado), Cau Manila (Sunda), Kofo sangi (Minahasa) dan Manila Henep.

Abaca adalah salah satu penghasil serat yang dapat digunakan untuk pembuatan kerajinan rakyat seperti bahan pakaian, anyaman topi, tas, peralatan makan, kertas rokok, sachet teh celup (Wibowo,1998). Selain itu juga untuk jenis kertas yang memerlukan kekuatan dan daya simpan yang tinggi seperti kertas surat, kertas dokumen serta kertas peta (Triyanto, Muliah dan Edi, 1982). Menurut Demsey (1963) dalam Priyono (2000), tanaman Abaca penghasil serat panjang yang banyak digunakan sebagai bahan pembuat tali kapal laut, karena seratnya kuat, mengapung diatas air, dan tahan air garam. Sedangkan Sanusiputra (1996) dalam Wibowo (1998) melaporkan bahwa limbahnya dapat dipergunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan kompos bahan baku untuk langit-langit pintu dan lain-lain.

Saat ini teknik perbanyakan tanaman melalui kultur in vitro telah banyak diterapkan pada tanaman pangan industri salah satunya pada tanaman pisang (Musa paradisiaca L.) karena Abaca secara morfologi tidak jauh berbeda dengan pisang lainnya, maka teknik kultur in vitro dimungkinkan dapat menghasilkan bibit-bibit Abaca yang seragam dan berproduksi tinggi. Para petani penanam pisang Abaca sangat menyukai bibit pisang hasil kultur jaringan karena bila dibandingkan dengan bibit asal biji atau anakan biasa, bibit pisang hasil kultur jaringan pertumbuhannya lebih pesat, seragam, dapat disediakan dalam jumlah banyak dengan waktu yang singkat, dan bebas patogen berbahaya.

BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: Anakan pisang Abaca, agar sebagai pemadat, sukrosa, NAA, Kinetin, BAP, desinfektan (Sunclin, Dithane, Alkohol 70 % dan 95 %, Betadine dan Aquadest steril), dan bahan lain yang mendukung penelitian ini. Media dasar yang digunakan adalah media MS (Murashige and Skoog) ditambah dengan beberapa rasio konsentrasi BAP, NAA dan Kinetin.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan gelas (botol kultur, gelas ukur, beaker glass, erlenmeyer, dan petridish), timbangan analitik, pH meter, autoclave, Laminar Air Flow (LAF), peralatan diseksi (pinset, gunting dan skalpel), stirer, lampu spiritus, rak kultur dengan lampu 40 watt dan alat lain yang mendukung penelitian ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Seluruh konsentrasi BAP dan Kinetin yang diperlakukan terhadap eksplan mampu memicu induksi tunas adventif dari eksplan yang dikulturkan. Eksplan berupa tunas steril Abaka menunjukkan respon perubahan setelah diinkubasi pada media kultur in vitro. Pada permulaannya, pangkal eksplan tampak membesar dan warna hijau menjadi lebih kuat. Tunas tercepat muncul pada 8.2 hari setelah kultur. Berdasarkan data penelitian, konsentrasi BAP 6 ppm cenderung memberi pengaruh lebih baik pada tahap induksi tunas. Pertumbuhan tunas mikro abaka pada berbagai perlakuan konsentrasi BAP ditunjukan pada Gambar 2. Sedangkan Kinetin 7 ppm memberikan hasil jumlah tunas terbanyak.


Pada tahap pengakaran tunas abaka, eksplan yang dipergunakan adalah tunas mikro dengan jumlah daun 3 dan tinggi ± 3 cm yang berasal dari tahap induksi tunas. Semua perlakuan yang diberikan mampu memicu pertumbuhan akar dan seluruh eksplan yang dikulturkan pada tahap ini mampu membentuk akar. Akar pertama tumbuh pada hari ke-3 setelah kultur. Rata-rata akar terbentuk pada hari ke-11 setelah kultur. Eksplan yang dikultur pada media tanpa penambahan NAA paling mudah membentuk akar. Pada kondisi ini akar yang dihasilkan paling panjang tetapi jumlah akar lebih sedikit. Perlakuan NAA 1 ppm menghasilkan jumlah akar lebih banyak tetapi panjang akar lebih pendek dibandingkan dengan perlakuan 0 ppm. Berdasarkan hasil penelitian, perlakuan yang cenderung memberi hasil lebih baik pada tahap pengakaran tunas abaka adalah pengkulturan pada media tanpa penambahan NAA.

Tunas mikro yang dikulturkan pada media yang diperkaya dengan NAA juga membentuk akar liar. Akar ini tumbuh menyebar pada batang tunas mikro. Semakin tinggi konsentrasi NAA, jumlah akar liar yang terbentuk semakin banyak karena auksin memacu perkembangan akar liar (Salisbury dan Ross, 1995).

Peningkatan konsentrasi NAA di atas 1 ppm secara nyata menghambat pertumbuhan akar. Akar terbentuk lebih lama dengan jumlah cenderung berkurang dan lebih pendek. Hal ini disebabkan konsentrai auksin yang tinggi menghambat pertumbuhan akar (Priyono, 2001). NAA 1 ppm menghasilkan akar dalam jumlah lebih banyak tetapi panjang akar lebih pendek dibandingkan pada perlakuan tanpa pemberian NAA. Menurut Delvin (1975) dalam Abidin (1985) pemberian konsentrasi auksin yang relatif tinggi menyebabkan terhambatnya perpanjangan akar tetapi meningkatkan jumlah akar.

Dari 4 taraf konsentrasi auksin yang digunakan, konsentrasi 1 ppm menunjukkan hasil terbaik dibandingkan perlakuan yang lain. Namun diduga terdapat konsentrasi NAA optimum dalam rentang 0–1 ppm untuk pertumbuhan akar abaka. Auksin endogen sudah mampu memicu pertumbuhan akar abaka namun perlu ditambahkan auksin eksogen dalam jumlah tertentu dalam rentang 0–1 ppm untuk memperbaiki respon pertumbuhan akar abaka. Priyono (1993) melaporkan, dari 3 taraf perlakuan NAA 0,1; 0,3; dan 0,5 ppm yang diaplikasikan pada media perakaran, konsentrasi 0,3 mg/l NAA menunjukkan hasil terbaik terhadap pertumbuhan akar Musa paradisiaca. Pada Musa textilis, NAA 0,5 dan 1 ppm memberi respon yang sama terhadap pertumbuhan akar (Priyono, 2000).

Berdasarkan data-data yang ada, diduga konsentrasi optimum NAA untuk pertumbuhan akar abaka terdapat antara rentang 0–1 ppm. Auksin dalam konsentrasi yang tepat sangat berperan aktif dalam proses diferensiasi sel, namun pada taraf yang melebihi konsentrasi optimum dapat bersifat racun (Wareing dan Phillips, 1970 dalam Priyono, 1993).

KESIMPULAN

1. BAP 6 ppm memberi pengaruh paling baik terhadap parameter jumlah tunas (9 tunas) dan tinggi tunas (2,62 cm).
2. Kinetin 7 ppm memberi pengaruh paling baik terhadap parameter jumlah tunas (9 tunas) dan tinggi tunas (2,76 cm).
3. Pada tahap pengakaran tunas mikro, perlakuan NAA 1 ppm memberi pengaruh paling baik terhadap parameter jumlah akar (6,67 akar per eksplan)
4. Perlakuan terbaik sebagai bagian metode regenerasi dari penelitian ini adalah induksi tunas menggunakan BAP 6 ppm atau Kinetin 7 ppm dan pengakaran tunas mikro abaka dengan penambahan 1 ppm NAA.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 1985. Dasar-dasar Pengetahuan tentang Zat Pengatur Tumbuh, Angkasa, Bandung.

Ariyanti, I.W. 1997. Pengaruh Perimbangan Konsentrasi NAA & Kinetin Terhadap Pertumbuhan Tiga Varietas Anggrek Pada Media Greener 2001 B Melalui Teknik Kultur Jaringan. Fakultas Pertanian Universitas Jember. Jember.

Atmawatiningsih, S. 1993. Pengaruh NAA dan BAP Pada Perbanyakan Pisang Agung (Musa paradisiaca forma typica) Secara In Vitro. Fakultas Pertanian Universitas Jember. Jember.

Demsey, J.M. 1963. Long Vegetable Fiber Development in South Vietnam and Other Asian Countries 1957-1962. Overseas misson. Saigon: 157-162.

Dwidjoseputro. 1995. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia Jakarta.

Hardjono, R., S. Muljopawiro dan I. Mariska. 1989. Penggunaan Berbagai Eksplan Dalam Media Terhadap Pertumbuhan Tunas Tanaman Tembakau. Risalah Seminar Latihan Magang Penelitian Pertanian Bioteknologi III. Sukabumi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar